Previous : RAHASIA Bagian 3
BAGIAN 4
Mata
Yonna terbelalak melihat Jefry.
Yonna
tak menyangka, bagaimana bisa Jefry menyebutkan sebuah nama terakhir yang
membuatnya kaget. Darimana dia bisa tahu?
Yonna
seakan ingin sekali melangkah pada Jefry dan menanyakan bagaimana dia bisa tahu
nama itu. Tapi sayang, dia tak punya daya untuk dapat melakukan seperti itu.
Tak
terasa air mata Yonna mengalir melewati pipinya.
“Jefry!
Kenapa Yonna bisa nangis gini?” Tanya Bianca dengan nada gelisah.
Ketika
Bianca berusaha untuk memegangi pundak Yonna, Yonna menyingkirkannya dengan
desahan nafas. Tangisnya jadi bersuara.
“Jefry!
Kenapa ini?” Tanya Bianca sekali lagi.
Jefry
terdiam.
“Lo tau.
Ca? Selama ini, orang yang kita bantu adalah seorang pembunuh.” Kata Jefry
pelan tapi tajam.
Bianca
kaget. Bianca tidak mengerti kenapa Jefry bisa berkata seperti itu. Kemudian
Jefry menyerahkan Ipad yang dia pegang kepada Bianca. Bianca menerimanya.
“Lo baca
sendiri.” Kata Jefry.
Tanpa
disadaripun, mata Jefry berkaca-kaca. Jefry sendiripun tak menyangka dengan apa
yang dia lihat. Jefry memasang wajah kecewa.
“Oh my
God. Kenapa? Kok gini, Jef?” Tanya Bianca dengan nada terbata-bata.
Yonna
menangis dengan ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal. Dadanya sangat terasa
sesak.
Dia
memutuskan berdiri dan berjalan ingin keluar.
Dengan
kesusahan dia berjalan mendekati pintu.
Niatnya
itu digagalkan oleh Jefry. Jefry memegang tangannya.
Yonna
berteriak kencang dan berusaha melepaskan genggaman Jefry.
Bianca
tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya melihat saja. Biancapun juga kecewa.
Jefry
tetap memegang tangan Yonna erat-erat, tak peduli teriakan Yonna didengar oleh
kanan-kirinya. Kemudian Jefry menggeret Yonna menuju ke ruangannya.
Dengan
meronta-ronta Yonna mau tidak mau harus mengikuti Jefry. Yonna hanya bisa
menangis dan teriak.
Sampainya
di kamar Yonna, Yonna langsung ke kamarnya dan menuju ke kasur lipatnya. Dia
menangis keras-keras disana.
“Jelasin
apa yang udah terjadi!” Kata Jefry.
Yonna
tetap menangis.
“Berhenti
menangis dan jelaskan sekarang juga!” bentak Jefry.
“Keluarrrr!!
Dasar jahatttt!!” Teriak Yonna sambil menutup kedua telingannya dengan telapak
tangannya.
Yonna
menangis histeris. Wajahnya sudah memerah dan penuh dengan air mata.
“Keluarrrr!!
Kau juga jahattttt!!” Teriak Yonna lagi dengan nada terputus-putus akibat
isakannya.
Jefry
terdiam. Tanpa bicara apapun dia pergi meninggalkan ruangan itu.
Pintu
ditutup. Yonna sendirian disana.
“Jahatttt!
Jahatttt!! Jahatttt!!”
Hanya
kata-kata itu saja yang bisa Yonna ucapkan sembari menangis.
Tangannya
yang sedari tadi menutupi telinganya. Kini berpindah memegangi dadanya.
Ditarik-tariknya
bajunya, dia berharap dengan begitu rasa sesak dan sakit yang ada didalam
dadanya bisa keluar.
Yonna
masih menangis. Sendirian.
---
Sore
2
Desember 2013
“Kenapa
om nggak cerita kalau ternyata Yonna itu seorang pembunuh?”
Dr.Herman
yang meminum tehnya segera menghentikan hal itu setelah mendengar ucapan Jefry.
Dr.Herman
menaruh tehnya dimeja, dan berdiri menyeimbangi Jefry.
“Kamu yakin?”
Tanya dr.Herman.
“Beritanya
seperti itu om. Aku yakin.” Kata Jefry dengan tegas.
“Lalu,
apa maumu?” Tanya dr.Herman.
“Aku
pengen ganti pasien, om.” Kata Jefry.
“Kamu
yakin?”
“Yakin,
om”
“Apa
papamu seorang yang bodoh sampai merelakan jabatannya untuk membela kasus seorang
penjahat yang kemudian gila? Pikirkan itu.”
Dr.Herman
pergi meninggalkan Jefry yang berdiri mematung disana.
Jefry
bingung. Jefry tak bisa menjawab pertanyaan dr.Herman.
---
Malam
2
Desember 2013
Yonna
sudah tenang. Dia tak lagi menangis.
Tangisan
tadi menyisakan mata yang bengkak di wajahnya.
Wajahnya
masih memerah pula.
Dia
tergeletak di kasur lipatnya dengan wajah sendu.
Kemudian
tangannya mencoba menggapai sesuatu dari bawah kasur lipatnya.
Dia
mencari sesuatu.
Tapi tak
menemukannya.
Dia
bangkit dari tidurnya, dan mengangkat kasur lipatnya.
Dia
mencari sesuatu dengan terburu-buru dan memasang wajah khawatir.
Dia
mulai memasang wajah sedih.
Matanya
mulai tergenang lagi dengan air mata.
Dia
tidak berhasil menemukan apa-apa diruangan kecilnya.
Dia
masih tetap menangis.
Kali
ini, isak tangisnya terdengar lagi.
---
Pagi
3
Desember 2013
“Gue
nggak nyangka kalau ternyata Yonna itu seorang pembunuh.” Kata Andre setelah
melihat berita yang ada di Ipadnya.
“Dan
kenapa juga yang dibunuh adalah teman sekantornya?” Sambung Andre.
“Menurut
yang gue baca, dia punya hubungan khusus dengan karyawan itu. Karyawan apa
sih?” Tanya Bianca.
“Nggak
tahu, nggak ditulis disini.” Kata Andre.
Jefry
masih terdiam dengan melipat kedua tangannya di meja kantin di rumah sakit itu.
“Tapi
kita nggak bisa berubah gini sama dia.” Kata Bianca.
“Kasihan
Yonna, dia pasti kesepian.” Sambung Bianca.
“Oya,
foto kemarin masih gue bawa.” Andre berkata sambil mengambil sesuatu dari dalam
tasnya.
“Ini
dia. Yonna dan someone.” Kata Andre sambil menyerahkan sebuah foto.
“Siapa
nih? Cakep amat. Yonna juga, cantik banget.” Kata Bianca mengomentari foto yang
dia lihat.
“Gue
kemarin lupa nggak kembaliin ini, temenin gue Ca, balikin ini foto.” Kata
Andre.
“Emm,
yaudah deh. Yuk. Jef, kita ke ruangan Yonna. Lo ikut nggak?” Kata Bianca.
Jefry
hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Bianca
melihat kearah Andre, dan memberi kode untuk segera meninggalkan Jefry.
Mereka
pergi meninggalkan Jefry yang masih terdiam.
---
“Yonna.”
Sapa Bianca sambil membuka pintu ruangan Yonna dan masuk kedalam. Disusul
dengan Andre.
Tiba-tiba
Yonna lari kearah Bianca dan memegang tangan Bianca erat-erat, membuat Bianca
kaget dan bingung.
“Foto…
ah ah.. Foto.. ah ah.. Hi.. hilang.. ah ah Fotonya.. ah ah hilang..” Yonna
mengatakan hal itu dengan terisak-isak.
“Foto?”
Bianca bertanya pada Yonna. Kemudian Bianca tahu bahwa yang dimaksud adalah
foto yang dibawa oleh Andre.
Bianca
menoleh kearah Andre.
“Oh ya,
maaf Yonna. Foto kamu aku bawa nih. Kemarin waktu bersih-bersih aku lupa
kembaliin tempatnya lagi.” Jelas Andre sambil menyerahkan foto itu.
Foto itu
langsung disambar oleh Yonna. Dia lega, tapi tetap menangis.
Dia
memeluk foto itu erat-erat.
Bianca
dan Andre saling bertatapan.
“Yonna,
maafin Jefry buat yang kemarin ya.” Kata Bianca pelan-pelan.
Yonna
terdiam. Dia melihat kearah mata Bianca.
“Enggak..
Enggak bunuh.” Yonna menangis kembali.
Bianca
menghampiri Yonna dan memeluk Yonna erat-erat.
“Sabar
Yonna. Tenang ya tenang.” Kata Bianca.
Yonna
menangis dalam pelukan Bianca.
---
Pagi
8
Desember 2013
“Sampai
kapan Jef, lo nggak lihat kondisi Yonna?” Tanya Bianca
“Gue kan
udah bilang, gue mau ganti pasien.” Jawab Jefry sambil membetulkan dasinya
didepan kaca di kamarnya.
“Tapi
Jef, kita tinggal beberapa hari aja disini. Lo nggak mungkin punya waktu buat
bikin laporan yang beda.” Jelas Bianca.
Jefry
diam.
“Jef,
kita perlu dengar juga penjelasan dari Yonna.” Kata Bianca.
“Penjelasan
apa yang mau lo denger dari orang gila?” Kata Jefry sambil tertawa kecil.
Jefry
selesai membetulkan dasinya. Dia mengambil tasnya yang ada di tempat tidurnya.
“Lo
berangkat bareng nggak?” Tanya nya pada Bianca.
“Jef,
Yonna sakit. Dia demam tinggi.” Kata Bianca sambil pergi meninggalkan Jefry.
Jefry
terdiam.
---
Siang
8
Desember 2013
“Jefry
masih belum mau ketemu Yonna?”
“Belum.”
“Lo nggak ajak dia?”
“Lo nggak ajak dia?”
“Dia
nggak mau.”
“Trus?”
“Ya
nggak terus-terus.”
Andre
dan Bianca selesai mengunjungi pasien-pasien yang telah ditugaskan oleh
dr.Herman. Saat ini jam istirahat dan mereka menuju ke kantin.
“Insting
wanita gue, Yonna bukan pembunuh, Ndre.” Kata Bianca.
Andre
menghela nafas panjang.
“Insting
laki gue, sama Ca.” Kata Andre.
“Gimana caranya
ungkapin kebenaran ?” Kata Bianca.
“Gue
nggak punya ide tanpa Jefry disisi gue.” Kata Andre.
“Omongan
lo barusan tuh kayak lo homo sama Jefry.” Celetuk Bianca.
“Iya,
gue mikirnya juga gitu.” Andre baru sadar dengan apa yang diucapkannya. Dia
menoleh kearah Bianca dan memukul bahu Bianca.
Bianca
kesakitan.
“Lama-lama
gue yang jadi gila deket-deket lo!” Bentak Jefry
Andre
sangat gemas sekali melihat temannya yang satu ini.
---
Pagi
10
Desember 2013
“Yonna.”
Yonna
membuka matanya ketika dia mendengar pintu ruangannya dibuka dan ada yang
memanggil namanya.
Jefry
duduk disamping tempat tidur Yonna.
Yonna
masih posisi tidur disana.
Tak
seperti biasanya. Yonna nampak tenang didekati oleh Jefry.
Jefry
mengeluarkan sebuah coklat dari dalam saku jas putihnya.
“Happy birthday.”
Kata Jefry sambil meletakkan coklat itu di dekat Yonna.
Yonna
melihat coklat itu. Ekspresinya datar.
“Gue tau
lo suka sama coklat.” Kata Jefry.
“Ma..
Kasih..” Kata Yonna terbata-bata.
“Kurang
beberapa hari lagi gue dan temen-temen gue kembali ke kampus. Dan kami belum
punya laporan tentang lo sama sekali.” Jelas Jefry.
“Gue
berharap lo bisa ceritakan masa lalu lo dan hanya lo yang bisa. Karena pasien
disini yang gue anggap udah sehat adalah lo.” Sambung Jefry.
“Besok,
gue kesini sama temen-temen gue. Sampai ketemu besok.” Kata Jefry sambil
berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Yonna
terdiam. Kali ini ia tak menanggapinya dengan menangis.
Yonna
memejamkan matanya kembali dan memegang coklat pemberian Jefry dengan
erat-erat.
Happy birthday Yonna, happy
birthday Yonna, happy birthday happy birthday, happy birthday Yonna. Tiup
lilinnya yuk. Yeeee. Selamat ulang tahun ya, semoga diusia yang ke 25 tahun ini
kamu tambah yang baik-baik aja ya. Jangan sedih lagi ya. Aku disisi kamu terus
sampai mati. Jangan nangis ya, nanti uangku habis Cuma buat beliin kamu coklat.
Hahaha. Happy birthday Yonna.
Yonna
mencoba menggigit mulutnya pelan-pelan agar air mata tak jatu kepipinya ketika
bayangan itu muncul dalam ingatannya.
Tak
kuat. Kemudian dia menangis.
---
Pagi
11
Desember 2013
Jefry,
Andre dan Bianca sudah berada di kamar Yonna. Yonna duduk diatas kasur
lipatnya.
Mereka
bertiga duduk dilantai didepan Yonna.
Jefry
mengeluarkan sebuah alat perekam dan menaruhnya di tengah.
“Baik
mari kita mulai.” Buka Jefry.
“Selamat
pagi?” Sapa Jefry.
“Pagi.”
Jawab Yonna dengan suara lirih
“Apa
anda sudah siap dengan wawancara pada pagi hari ini?”
“Sudah.”
“Baik,
perkenalkan nama anda.”
“Yonna
Keila”
“Lahir
di?”
“Kanada”
“Tanggal?”
“Sepuluh
Desember 1981”
“Baik,
langsung saja. Ceritakan bagaimana anda bisa sampai di tempat ini.”
Yonna
terdiam.
Jefry
terdiam.
Andre
dan Bianca sangat was-was.
Yonna
memejamkan matanya.
Dia
mulai membuka mulutnya pelan-pelan.
“Dulu..
Saya pernah menjadi orang yang sekacau ini.. Saya adalah orang yang
menyedihkan. Saya adalah orang yang tidak menyenangkan. Saya adalah orang yang
merasa sendiri.”
Yonna
membuka matanya pelan-pelan.
“Tapi
itu tidak terjadi lagi.”
Yonna
melihat kearah Jefry
“Setelah
ada seseorang yang masuk dalam kehidupan saya.”
---
Seorang
wanita berlari menyusuri tangga yang sangat banyak.
Di dekat
tangga itu bertuliskan angka 8 yang berarti saat ini wanita itu sudah berada
di lantai delapan.
Wanita
itu sangat tergesa-gesa.
Kemudian
dia mendapati sebuah pintu besi dan dibukanya pintu itu.
Yonna
berhasil membuka pintu itu, dengan nafas yang tersengal-sengal akibat
berlarian, Yonna masih berpegangan pada pegangan pintu besi itu.
Yonna
sudah sampai di atas sebuah gedung.
Kemudian
dia berlari kencang menuju ke pinggiran gedung itu.
Dia
berpegang pada sebuah tembok dengan nafas tersengal-sengal. Keringatnya pun
juga bercucuran.
Dari
sana Yonna bisa melihat seluruh kota yang menjadi kecil, karena Gedung tempat
dia berada sangatlah tinggi.
Yonna
melihat kebawah kakinya.
Dia
mendapati 5 tangga kecil di dekat tembok.
Dia
berusaha menaiki tangga tersebut.
Sekarang
tembok batasan itu hanya setara dengan lututnya.
Angin
menerpa rambut panjangnya yang berwarna mocca, menerpa dress mininya kesana
kemari.
Angin
jugalah yang membuat matanya yang tadinya berair kini menjadi kering.
Untuk apa aku hidup? Dunia Tak
membutuhkan aku lagi.
Yonna
sudah mengangkat satu kakinya dan ditumpukan pada anak tangga yang ketiga.
Aku lelah dengan semua ini
Dia
berusaha mengangkat kaki yang satunya lagi untuk naik ke anak tangga yang ke
empat.
“Yonna!”
Suara
itu membuat Yonna menoleh pada sumber suara itu.
Didapati
seorang laki-laki.
“Tahan..
tahan ya. Jangan bergerak.” Kata laki-laki itu.
Yonna
hanya terdiam.
“Aku
akan kesana, dan kamu tunggu disitu ya. Ok? Jangan bergerak. Ok?” Orang itu
tampak khawatir dengan posisi Yonna saat ini.
Yonna
masih terdiam melihat orang itu mendekat pelan-pelan padanya.
Orang
itu mengulurkan tangannya pada Yonna.
“Pegang
tanganku.” Kata laki-laki itu.
“Jangan
bunuh diri, Na.”
“Tolong.”
Yonna
masih diam.
“Ayo
pegang tanganku. Ayo.” Kata laki-laki itu sambil mencoba tersenyum manis pada
Yonna.
Yonna
sama sekali tak melihat kearah tangan laki-laki itu yang sudah terulur sedari
tadi. Dia hanya melihat wajah laki-laki itu.
Tak
terasa, air matanya mengalir tanpa dia harus memejamkan air mata.
Baru kali ini, dalam hidupku. Aku
merasa bodoh.
“Ayo,
Na. Kamu pegang tanganku!” Suruh laki-laki itu lagi.
Dan, aku merasa malu.
Laki-laki
itu masih mengulurkan tangannya dengan wajah was-was. Wajahnya seperti ingin
meyakinkan Yonna untuk mengurungkan niat jeleknya.
Ya.. Baru kali ini. Didepan
seorang laki-laki yang tak pernah aku lihat selama ini.
Laki-laki
itu masih menunggu Yonna yang sedari tadi terdiam memandangnya.
Entah kenapa, baru kali ini aku
menyalahkan persepsi ku sendiri.
Aku tahu… Aku tidak sendiri saat
ini.
Meskipun
tak dianggap oleh Yonna. Laki-laki itu tak menyerah menunggu Yonna turun dari
tangga itu.
Selama ini aku mencoba menutup
mataku dan tidak berani melihat dunia.
Aku berfikir dunia terlalu kejam
untuk dilihat.
Tapi aku salah.
Yonna
mencoba membatalkan langkahnya untuk naik lebih tinggi lagi. Dia mencoba
menurunkan satu langkahnya. Laki-laki itu tersenyum senang melihat tindakan
Yonna.
Saat ini aku sudah buka mataku.
Dan laki-laki ini.
Membuat persepsiku salah akan
dunia yang kejam.
Next :
No comments:
Post a Comment