Menu

Wednesday, November 27, 2013

[Story] "RAHASIA" Bagian 4

Previous : RAHASIA Bagian 3

BAGIAN 4

Mata Yonna terbelalak melihat Jefry.
Yonna tak menyangka, bagaimana bisa Jefry menyebutkan sebuah nama terakhir yang membuatnya kaget. Darimana dia bisa tahu?
Yonna seakan ingin sekali melangkah pada Jefry dan menanyakan bagaimana dia bisa tahu nama itu. Tapi sayang, dia tak punya daya untuk dapat melakukan seperti itu.
Tak terasa air mata Yonna mengalir melewati pipinya.
“Jefry! Kenapa Yonna bisa nangis gini?” Tanya Bianca dengan nada gelisah.

Bianca berusaha menenangkan hati Yonna tapi Yonna menolaknya.
Ketika Bianca berusaha untuk memegangi pundak Yonna, Yonna menyingkirkannya dengan desahan nafas. Tangisnya jadi bersuara.
“Jefry! Kenapa ini?” Tanya Bianca sekali lagi.
Jefry terdiam.
“Lo tau. Ca? Selama ini, orang yang kita bantu adalah seorang pembunuh.” Kata Jefry pelan tapi tajam.
Bianca kaget. Bianca tidak mengerti kenapa Jefry bisa berkata seperti itu. Kemudian Jefry menyerahkan Ipad yang dia pegang kepada Bianca. Bianca menerimanya.
“Lo baca sendiri.” Kata Jefry.
Tanpa disadaripun, mata Jefry berkaca-kaca. Jefry sendiripun tak menyangka dengan apa yang dia lihat. Jefry memasang wajah kecewa.
“Oh my God. Kenapa? Kok gini, Jef?” Tanya Bianca dengan nada terbata-bata.
Yonna menangis dengan ketakutan. Nafasnya tersengal-sengal. Dadanya sangat terasa sesak.
Dia memutuskan berdiri dan berjalan ingin keluar.
Dengan kesusahan dia berjalan mendekati pintu.
Niatnya itu digagalkan oleh Jefry. Jefry memegang tangannya.
Yonna berteriak kencang dan berusaha melepaskan genggaman Jefry.
Bianca tak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya melihat saja. Biancapun juga kecewa.
Jefry tetap memegang tangan Yonna erat-erat, tak peduli teriakan Yonna didengar oleh kanan-kirinya. Kemudian Jefry menggeret Yonna menuju ke ruangannya.
Dengan meronta-ronta Yonna mau tidak mau harus mengikuti Jefry. Yonna hanya bisa menangis dan teriak.
Sampainya di kamar Yonna, Yonna langsung ke kamarnya dan menuju ke kasur lipatnya. Dia menangis keras-keras disana.
“Jelasin apa yang udah terjadi!” Kata Jefry.
Yonna tetap menangis.
“Berhenti menangis dan jelaskan sekarang juga!” bentak Jefry.
“Keluarrrr!! Dasar jahatttt!!” Teriak Yonna sambil menutup kedua telingannya dengan telapak tangannya.
Yonna menangis histeris. Wajahnya sudah memerah dan penuh dengan air mata.
“Keluarrrr!! Kau juga jahattttt!!” Teriak Yonna lagi dengan nada terputus-putus akibat isakannya.
Jefry terdiam. Tanpa bicara apapun dia pergi meninggalkan ruangan itu.
Pintu ditutup. Yonna sendirian disana.
“Jahatttt! Jahatttt!! Jahatttt!!”
Hanya kata-kata itu saja yang bisa Yonna ucapkan sembari menangis.
Tangannya yang sedari tadi menutupi telinganya. Kini berpindah memegangi dadanya.
Ditarik-tariknya bajunya, dia berharap dengan begitu rasa sesak dan sakit yang ada didalam dadanya bisa keluar.

Yonna masih menangis. Sendirian.

---

Sore
2 Desember 2013


“Kenapa om nggak cerita kalau ternyata Yonna itu seorang pembunuh?”
Dr.Herman yang meminum tehnya segera menghentikan hal itu setelah mendengar ucapan Jefry.
Dr.Herman menaruh tehnya dimeja, dan berdiri menyeimbangi Jefry.
“Kamu yakin?” Tanya dr.Herman.
“Beritanya seperti itu om. Aku yakin.” Kata Jefry dengan tegas.
“Lalu, apa maumu?” Tanya dr.Herman.
“Aku pengen ganti pasien, om.” Kata Jefry.
“Kamu yakin?”
“Yakin, om”
“Apa papamu seorang yang bodoh sampai merelakan jabatannya untuk membela kasus seorang penjahat yang kemudian gila? Pikirkan itu.”
Dr.Herman pergi meninggalkan Jefry yang berdiri mematung disana.
Jefry bingung. Jefry tak bisa menjawab pertanyaan dr.Herman.

---

Malam
2 Desember 2013


Yonna sudah tenang. Dia tak lagi menangis.
Tangisan tadi menyisakan mata yang bengkak di wajahnya.
Wajahnya masih memerah pula.
Dia tergeletak di kasur lipatnya dengan wajah sendu.
Kemudian tangannya mencoba menggapai sesuatu dari bawah kasur lipatnya.
Dia mencari sesuatu.
Tapi tak menemukannya.
Dia bangkit dari tidurnya, dan mengangkat kasur lipatnya.
Dia mencari sesuatu dengan terburu-buru dan memasang wajah khawatir.
Dia mulai memasang wajah sedih.
Matanya mulai tergenang lagi dengan air mata.
Dia tidak berhasil menemukan apa-apa diruangan kecilnya.
Dia masih tetap menangis.
Kali ini, isak tangisnya terdengar lagi.

---

Pagi
3 Desember 2013


“Gue nggak nyangka kalau ternyata Yonna itu seorang pembunuh.” Kata Andre setelah melihat berita yang ada di Ipadnya.
“Dan kenapa juga yang dibunuh adalah teman sekantornya?” Sambung Andre.
“Menurut yang gue baca, dia punya hubungan khusus dengan karyawan itu. Karyawan apa sih?” Tanya Bianca.
“Nggak tahu, nggak ditulis disini.” Kata Andre.
Jefry masih terdiam dengan melipat kedua tangannya di meja kantin di rumah sakit itu.
“Tapi kita nggak bisa berubah gini sama dia.” Kata Bianca.
“Kasihan Yonna, dia pasti kesepian.” Sambung Bianca.
“Oya, foto kemarin masih gue bawa.” Andre berkata sambil mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Ini dia. Yonna dan someone.” Kata Andre sambil menyerahkan sebuah foto.
“Siapa nih? Cakep amat. Yonna juga, cantik banget.” Kata Bianca mengomentari foto yang dia lihat.
“Gue kemarin lupa nggak kembaliin ini, temenin gue Ca, balikin ini foto.” Kata Andre.
“Emm, yaudah deh. Yuk. Jef, kita ke ruangan Yonna. Lo ikut nggak?” Kata Bianca.
Jefry hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Bianca melihat kearah Andre, dan memberi kode untuk segera meninggalkan Jefry.
Mereka pergi meninggalkan Jefry yang masih terdiam.

---

“Yonna.” Sapa Bianca sambil membuka pintu ruangan Yonna dan masuk kedalam. Disusul dengan Andre.
Tiba-tiba Yonna lari kearah Bianca dan memegang tangan Bianca erat-erat, membuat Bianca kaget dan bingung.
“Foto… ah ah.. Foto.. ah ah.. Hi.. hilang.. ah ah Fotonya.. ah ah hilang..” Yonna mengatakan hal itu dengan terisak-isak.
“Foto?” Bianca bertanya pada Yonna. Kemudian Bianca tahu bahwa yang dimaksud adalah foto yang dibawa oleh Andre.
Bianca menoleh kearah Andre.
“Oh ya, maaf Yonna. Foto kamu aku bawa nih. Kemarin waktu bersih-bersih aku lupa kembaliin tempatnya lagi.” Jelas Andre sambil menyerahkan foto itu.
Foto itu langsung disambar oleh Yonna. Dia lega, tapi tetap menangis.
Dia memeluk foto itu erat-erat.
Bianca dan Andre saling bertatapan.
“Yonna, maafin Jefry buat yang kemarin ya.” Kata Bianca pelan-pelan.
Yonna terdiam. Dia melihat kearah mata Bianca.
“Enggak.. Enggak bunuh.” Yonna menangis kembali.
Bianca menghampiri Yonna dan memeluk Yonna erat-erat.
“Sabar Yonna. Tenang ya tenang.” Kata Bianca.
Yonna menangis dalam pelukan Bianca.

---

Pagi
8 Desember 2013


“Sampai kapan Jef, lo nggak lihat kondisi Yonna?” Tanya Bianca
“Gue kan udah bilang, gue mau ganti pasien.” Jawab Jefry sambil membetulkan dasinya didepan kaca di kamarnya.
“Tapi Jef, kita tinggal beberapa hari aja disini. Lo nggak mungkin punya waktu buat bikin laporan yang beda.” Jelas Bianca.
Jefry diam.
“Jef, kita perlu dengar juga penjelasan dari Yonna.” Kata Bianca.
“Penjelasan apa yang mau lo denger dari orang gila?” Kata Jefry sambil tertawa kecil.
Jefry selesai membetulkan dasinya. Dia mengambil tasnya yang ada di tempat tidurnya.
“Lo berangkat bareng nggak?” Tanya nya pada Bianca.
“Jef, Yonna sakit. Dia demam tinggi.” Kata Bianca sambil pergi meninggalkan Jefry.
Jefry terdiam.

---

Siang
8 Desember 2013


“Jefry masih belum mau ketemu Yonna?”
“Belum.”
“Lo nggak ajak dia?”
“Dia nggak mau.”
“Trus?”
“Ya nggak terus-terus.”
Andre dan Bianca selesai mengunjungi pasien-pasien yang telah ditugaskan oleh dr.Herman. Saat ini jam istirahat dan mereka menuju ke kantin.
“Insting wanita gue, Yonna bukan pembunuh, Ndre.” Kata Bianca.
Andre menghela nafas panjang.
“Insting laki gue, sama Ca.” Kata Andre.
“Gimana caranya ungkapin kebenaran ?” Kata Bianca.
“Gue nggak punya ide tanpa Jefry disisi gue.” Kata Andre.
“Omongan lo barusan tuh kayak lo homo sama Jefry.” Celetuk Bianca.
“Iya, gue mikirnya juga gitu.” Andre baru sadar dengan apa yang diucapkannya. Dia menoleh kearah Bianca dan memukul bahu Bianca.
Bianca kesakitan.
“Lama-lama gue yang jadi gila deket-deket lo!” Bentak Jefry
Andre sangat gemas sekali melihat temannya yang satu ini.

---

Pagi
10 Desember 2013


“Yonna.”
Yonna membuka matanya ketika dia mendengar pintu ruangannya dibuka dan ada yang memanggil namanya.
Jefry duduk disamping tempat tidur Yonna.
Yonna masih posisi tidur disana.
Tak seperti biasanya. Yonna nampak tenang didekati oleh Jefry.
Jefry mengeluarkan sebuah coklat dari dalam saku jas putihnya.
“Happy birthday.” Kata Jefry sambil meletakkan coklat itu di dekat Yonna.
Yonna melihat coklat itu. Ekspresinya datar.
“Gue tau lo suka sama coklat.” Kata Jefry.
“Ma.. Kasih..” Kata Yonna terbata-bata.
“Kurang beberapa hari lagi gue dan temen-temen gue kembali ke kampus. Dan kami belum punya laporan tentang lo sama sekali.” Jelas Jefry.
“Gue berharap lo bisa ceritakan masa lalu lo dan hanya lo yang bisa. Karena pasien disini yang gue anggap udah sehat adalah lo.” Sambung Jefry.
“Besok, gue kesini sama temen-temen gue. Sampai ketemu besok.” Kata Jefry sambil berdiri dan meninggalkan ruangan itu.
Yonna terdiam. Kali ini ia tak menanggapinya dengan menangis.
Yonna memejamkan matanya kembali dan memegang coklat pemberian Jefry dengan erat-erat.

Happy birthday Yonna, happy birthday Yonna, happy birthday happy birthday, happy birthday Yonna. Tiup lilinnya yuk. Yeeee. Selamat ulang tahun ya, semoga diusia yang ke 25 tahun ini kamu tambah yang baik-baik aja ya. Jangan sedih lagi ya. Aku disisi kamu terus sampai mati. Jangan nangis ya, nanti uangku habis Cuma buat beliin kamu coklat. Hahaha. Happy birthday Yonna.

Yonna mencoba menggigit mulutnya pelan-pelan agar air mata tak jatu kepipinya ketika bayangan itu muncul dalam ingatannya.
Tak kuat. Kemudian dia menangis.

---

Pagi
11 Desember 2013


Jefry, Andre dan Bianca sudah berada di kamar Yonna. Yonna duduk diatas kasur lipatnya.
Mereka bertiga duduk dilantai didepan Yonna.
Jefry mengeluarkan sebuah alat perekam dan menaruhnya di tengah.
“Baik mari kita mulai.” Buka Jefry.
“Selamat pagi?” Sapa Jefry.
“Pagi.” Jawab Yonna dengan suara lirih
“Apa anda sudah siap dengan wawancara pada pagi hari ini?”
“Sudah.”
“Baik, perkenalkan nama anda.”
“Yonna Keila”
“Lahir di?”
“Kanada”
“Tanggal?”
“Sepuluh Desember 1981”
“Baik, langsung saja. Ceritakan bagaimana anda bisa sampai di tempat ini.”
Yonna terdiam.
Jefry terdiam.
Andre dan Bianca sangat was-was.
Yonna memejamkan matanya.
Dia mulai membuka mulutnya pelan-pelan.
“Dulu.. Saya pernah menjadi orang yang sekacau ini.. Saya adalah orang yang menyedihkan. Saya adalah orang yang tidak menyenangkan. Saya adalah orang yang merasa sendiri.”
Yonna membuka matanya pelan-pelan.
“Tapi itu tidak terjadi lagi.”
Yonna melihat kearah Jefry
“Setelah ada seseorang yang masuk dalam kehidupan saya.”

---

Seorang wanita berlari menyusuri tangga yang sangat banyak.
Di dekat tangga itu bertuliskan angka 8 yang berarti saat ini wanita itu sudah berada di lantai delapan.
Wanita itu sangat tergesa-gesa.
Kemudian dia mendapati sebuah pintu besi dan dibukanya pintu itu.
Yonna berhasil membuka pintu itu, dengan nafas yang tersengal-sengal akibat berlarian, Yonna masih berpegangan pada pegangan pintu besi itu.
Yonna sudah sampai di atas sebuah gedung.
Kemudian dia berlari kencang menuju ke pinggiran gedung itu.
Dia berpegang pada sebuah tembok dengan nafas tersengal-sengal. Keringatnya pun juga bercucuran.
Dari sana Yonna bisa melihat seluruh kota yang menjadi kecil, karena Gedung tempat dia berada sangatlah tinggi.
Yonna melihat kebawah kakinya.
Dia mendapati 5 tangga kecil di dekat tembok.
Dia berusaha menaiki  tangga tersebut.
Sekarang tembok batasan itu hanya setara dengan lututnya.
Angin menerpa rambut panjangnya yang berwarna mocca, menerpa dress mininya kesana kemari.
Angin jugalah yang membuat matanya yang tadinya berair kini menjadi kering.

Untuk apa aku hidup? Dunia Tak membutuhkan aku lagi.

Yonna sudah mengangkat satu kakinya dan ditumpukan pada anak tangga yang ketiga.

Aku lelah dengan semua ini

Dia berusaha mengangkat kaki yang satunya lagi untuk naik ke anak tangga yang ke empat.

“Yonna!”
Suara itu membuat Yonna menoleh pada sumber suara itu.
Didapati seorang laki-laki.
“Tahan.. tahan ya. Jangan bergerak.” Kata laki-laki itu.
Yonna hanya terdiam.
“Aku akan kesana, dan kamu tunggu disitu ya. Ok? Jangan bergerak. Ok?” Orang itu tampak khawatir dengan posisi Yonna saat ini.
Yonna masih terdiam melihat orang itu mendekat pelan-pelan padanya.
Orang itu mengulurkan tangannya pada Yonna.
“Pegang tanganku.” Kata laki-laki itu.
“Jangan bunuh diri, Na.”
“Tolong.”
Yonna masih diam.
“Ayo pegang tanganku. Ayo.” Kata laki-laki itu sambil mencoba tersenyum manis pada Yonna.
Yonna sama sekali tak melihat kearah tangan laki-laki itu yang sudah terulur sedari tadi. Dia hanya melihat wajah laki-laki itu.
Tak terasa, air matanya mengalir tanpa dia harus memejamkan air mata.

Baru kali ini, dalam hidupku. Aku merasa bodoh.

“Ayo, Na. Kamu pegang tanganku!” Suruh laki-laki itu lagi.

Dan, aku merasa malu.

Laki-laki itu masih mengulurkan tangannya dengan wajah was-was. Wajahnya seperti ingin meyakinkan Yonna untuk mengurungkan niat jeleknya.

Ya.. Baru kali ini. Didepan seorang laki-laki yang tak pernah aku lihat selama ini.

Laki-laki itu masih menunggu Yonna yang sedari tadi terdiam memandangnya.

Entah kenapa, baru kali ini aku menyalahkan persepsi ku sendiri.
Aku tahu… Aku tidak sendiri saat ini.

Meskipun tak dianggap oleh Yonna. Laki-laki itu tak menyerah menunggu Yonna turun dari tangga itu.

Selama ini aku mencoba menutup mataku dan tidak berani melihat dunia.
Aku berfikir dunia terlalu kejam untuk dilihat.
Tapi aku salah.

Yonna mencoba membatalkan langkahnya untuk naik lebih tinggi lagi. Dia mencoba menurunkan satu langkahnya. Laki-laki itu tersenyum senang melihat tindakan Yonna.

Saat ini aku sudah buka mataku.
Dan laki-laki ini.
Membuat persepsiku salah akan dunia yang kejam.

Next :

No comments:

Post a Comment