Menu

Wednesday, November 20, 2013

[Story] "RAHASIA" Bagian 2

Previous : "RAHASIA" Bagian 1

BAGIAN 2

2 Bulan yang Lalu
2 September 2013

“Ini permintaan terakhir papa.”
Jefry terdiam dan menoleh kearah ayahnya.
“Papa ngomong apa sih?” Tanya Jefry dengan wajah geram.
“Anggap aja ini permintaan terakhir papa. Tolong kamu kabulkan, Jef.”
Jefry tertunduk lesu disofa tempatnya duduk.
“Papa cuma ingin keadilan ditegakkan.” Sambung ayah Jefry.
Sebenarnya Jefry tak mengerti apa yg dimaksud dengan ayahnya.
“Aku semakin nggak ngerti sama omongan papa. Papa pengen aku kerja di rumah sakit papa tempat kerja, gitu? Pah, masa lalu biarin jadi masa lalu. Kenapa mesti diungkit lagi sih?” Keluh Jefry.

“Papa ingin kamu jadi seorang dokter jiwa yang luar biasa.” Jawab ayahnya.
“Pah, Jefry ya Jefry. Papa ya papa. Papa nggak bisa maksa Jefry untuk jadi dr.Indra Nugraha yang pintar dan disegani banyak orang.” Nada Jefry mulai meninggi.
“Kalau papa bisa, kamu juga bisa. Suatu saat kamu akan menyadari itu.” Jawab ayahnya sambil menepuk pundak anaknya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Jefry sendirian disana dan terduduk lesu.

---

2 Bulan Kemudian
1 November 2013

Jefry telah sampai disebuah rumah sakit tempat dia dan kedua temannya ditempatkan untuk magang. Ketika dr.Herman, menunjukkan ruang demi ruang di rumah sakit tersebut, ada seorang suster yang mencurigakan. Suster itu bernama Indah, dia adalah kepala suster di rumah sakit jiwa tersebut.
Suster Indah melarang ketiga anak itu melihat salah satu pasien yg berbahaya di rumah sakit ini.
Jefry dan teman-temannya tak percaya begitu saja. Lantas, Jefry memaksa suster Indah pergi dan membuka pintu itu.
Nampak seorang wanita duduk meringkus dengan keadaan yg mengkhawatirkan. Wanita itu dipasung kaki kanannya.

“Siapa dia?” Tanya Jefry dengan wajah tanda Tanya pada suster Indah.
Suster Indah tak bisa menjawab. Dr.Herman hanya diam saja. Dr.Herman tersenyum.
“Apa itu yang ada dikakinya?” Tanya Jefry lagi.
“Sejak kapan rumah sakit mengijinkan adanya pasung?” Sambung Jefry.
Pertanyaan Jefry tak satupun di jawab oleh Suster Indah.
“Anda disini anak magang. Jangan macam-macam anda!” Bentak suster Indah dengan nada terbata-bata.
Jefry menoleh kepada dr.Herman yg sedari tadi hanya diam saja.
“Om, maksudnya apa ini?” Tanya Jefry pada dr.Herman.
Sekali lagi, dr.Herman hanya diam saja.
Keributan itu sampai di lihat banyak pasien dan pengunjung rumah sakit disekitar situ.
“Tolong anda jangan diam saja! Jawab saya!” Bentak Jefry.
“Ada apa ini ribut-ribut?”

Tiba-tiba seorang dokter menyela perkelahian mereka. Orang itu tinggi, berkacamata dan di jas putihnya tersemat name tag “dr.Rudi Hartanto”
“Apa anda semua tidak sadar bahwa ini rumah sakit?” Sambung dr.Rudi.
Jefry yang sedari tadi menatap tajam wajah suster Indah, sekarang beralih menatap kewajah dr.Rudi. Tatapan Jefry seperti bertanya siapa orang ini.
“Saya kepala rumah sakit disini.” Dr.Rudi sudah bisa langsung mejawab pertanyaan Jefry yang sama sekali tak keluar dari mulutnya.
“Oh, bagus sekali. Saya mau bertanya pada anda. Sejak kapan di rumah sakit melayani pemasungan?”
Dr.Rudi terdiam. Dr.Rudi melihat kearah suster Indah dan wajahnya berubah menjadi sinis.
“Maaf anak muda, anda siapa?” Tanya dr.Rudi.
“Maaf dok, ini anak magang dari Universitas yang bekerja sama dengan kita.” Sela dr.Herman.
Dr.Rudi sekarang melihat kearah dr.Herman yang tampak tenang.
“Tolong hargai privasi rumah sakit kami. Jika anda memiliki tugas dari Universitas anda, mohon laksanakan dengan baik, tapi jangan mengusik privasi kami.” Jawab dr.Rudi tegas.
“Privasi? Anda bilang ini privasi? Dok, meskipun dia beda dengan kita tapi dia juga manusia.” Jefry berteriak dengan emosi. Andre berusaha menenangkan temannya itu yg sedang emosi berat.
Teriakan Jefry cukup keras membuat wanita yang ada didalam ruangan itu menoleh pelan kearah keributan itu terjadi. Tak ada yang tahu bahwa wanita itu juga mendengarkan perdebatan mereka.
“Anda telah menyalahi aturan. Anda bilang anda seorang kepala rumah sakit, seharusnya anda lebih mengerti daripada kami.” Tiba-tiba Andre juga ikut bersuara.
“Benar dok, kami bisa saja melaporkan berita ini supaya dimuat di TV atau Koran.” Sambung Bianca membela.
Dr.Rudi merasa terdesak dengan argumen mereka bertiga. Dr.Rudi terdiam.
Jefry melangkah lebih dekat kearah dr.Rudi
“Berikan kuncinya!” Kata Jefry dengan nada yang sudah tak emosi lagi.
Dr.Rudi terdiam.
Jefry juga terdiam. Dia masih menunggu jawaban dari dr.Rudi.
“Suster Indah.” Dr.Rudi akhirnya mengeluarkan suaranya dengan nada serak.
“Iya, dokter.” Jawab suster Indah yang ada disebelahnya.
“Serahkan kuncinya pada anak ini.” Kata dr.Rudi dengan tegas dan tegang.
“Tapi dokter, ini…”
“Berikan saja!.” Sela dr.Rudi.
Kemudian setelah kunci itu diserahkan pada Jefry, dr.Rudi pergi meninggalkan mereka disusul dengan suster Indah.

Jefry yang menerima kunci itu langsung menghampiri wanita itu.
Wanita itu tahu kalau sedang ada yang menghampirinya. Dia ketakutan dan sedikit mengindar dari Jefry.
“Tenang. Saya mau bukakan pasungnya.” Kata Jefry dengan nada pelan dan berjalan pelan-pelan.
Jefry sudah dekat dengan wanita itu. Dipegangnya kaki wanita itu yg sangat kotor dan dibuka pasungan itu.
Setelah merasakan kebebasan pada kakinya. Wanita itu menekuk kakinya dan menghadap membelakangi Jefry.
“Ok, sudah selesai. Saya akan pergi.”
Jefry pergi dari sana pelan-pelan dan menutup pintu itu.
Wanita itu masih membelakangi pintu. Sudah tak ada siapa-siapa disana. Dia masih terdiam didalam kesunyian.

---

Wanita itu mencoba untuk berdiri
Sudah lama sekali dia tak berdiri. Dia berdiri sambil berpegangan pada tralis jendelanya. Dia melihat keluar jendela. Wajah kotornya tertepa cahaya pagi itu.
Dia memikirkan apa yang sudah dilakukan seorang tadi padanya. Dia berpikir masih ada ternyata yang peduli padanya. Dia memejamkan matanya.
Dia teringat pada seseorang yang melakukan hal sama seperti yg dilakukan pria tadi padanya.
Sekilas dalam bayangannya terlintas kejadian-kejadian yang dia kenang.

Apa ini? Kenapa ada pasung? Dia tidak boleh dipasung! Nona, kau baik-baik saja? Saya akan melepaskan pasung dikakimu. Nah sudah. Bagaimana rasanya? Enak kan? Jika ada yang memasungmu lagi, panggil aku.

Suara laki-laki itu terniang dipikirannya yang membuat air matanya tak kuasa mengalir.
Laki-laki tadi mengingatkannya pada seseorang.

---

Jefry menutup pintu ruangan wanita itu pelan-pelan. Dia melihat dr.Herman yang sedari tadi hanya diam saja. Dia mencoba meminta maaf pada dr.Herman karena sudah membuat keributan disini. Dr.Herman hanya tersenyum mendengarnya.

“Bagaimana? Apa kalian sudah punya gambaran siapa pasien yang akan kalian amati?” Tanya dr.Herman pada ketiga mahasiswa itu.
“Saya penasaran dengan wanita ini dok, dan baru kali ini saya penasaran dengan seorang pasien di rumah sakit jiwa.” Jawab Jefry sambil menyerahkan kunci ruangan itu pada dr.Herman.
“Sebenarnya saya takut dok, karena suster tadi bilang pasien ini mengerikan. Tapi saya sama seperti Jefry, saya penasaran dengan dia. Mungkin saya akan memilih dia untuk dibuat laporan.” Sambung Bianca dengan nada polos.
“Saya mah ngikut, dok.” Jawab Andre sekenanya.
Dr.Herman mengerti dengan pilihan mereka. Dr.Herman menyerahkan kunci itu lagi pada Jefry.
“Kau masih membutuhkan ini. Selamat menikmati masa magangmu.” Kata dr.Herman sambil meninggalkan mereka bertiga dengan sebuah senyuman.
Jefry dan kedua temannya saling berhadapan.
“Gue bener-bener penasaran sama yang di dalam.” Kata Bianca.
“Kalian semua, ikut gue.” Ajak Jefry.
Mereka berdua pergi mengikuti Jefry yang sudah ada didepan mereka. Mereka meninggalkan tempat itu.
Kepergian mereka ternyata diawasi oleh seseorang. Dia dr.Rudi.

---

Dr.Herman sudah tiba disebuh ruangan.
“Silahkan duduk, dok.” Sambut dr.Rudi.
Dr.Herman kemudian duduk di depan dr.Rudi yang saat ini ada di meja kerjanya.
“Saya berharap kejadian tadi tidak terulang lagi.” Kata dr.Rudi.
“Saya mohon maaf, dok.” Jawab dr.Rudi dengan nada lembut.
“Tolong carikan data ketiga anak itu. Secepatnya!” Suruh dr.Rudi.
Dr.Herman tertegun mendengarnya. Tapi pada akhirnya dr.Herman menganggukan kepala tanda setuju. Kemudian dia mohon pamit untuk keluar dari ruangan.
Diluar ruangan, dr.Herman menghela nafas panjang.

Indra, anakmu hebat. Semuanya sudah dimulai. Aku tak menyangka akan secepat ini.

Dr.Herman tersenyum dan pergi meninggalkan tempat itu.

---

Jefry dan teman-temannya sudah berada di bagian resepsionis.
“Sus, saya anak magang yang baru. Saya minta data pasien yang akan saya buat laporan.” Kata Jefry.
“Maaf, yang anda maksud pasien yang mana?” Tanya suster itu dengan senyum.
Jefry bingung harus menjelaskan bagaimana.
“Yang agak keganggu jiwanya, sus.” Jawab Bianca dengan wajah polos.
Andre menepuk dahinya dan kemudian memukul bahu Bianca. Bianca memegang bahunya dengan kesakitan.
“Semua yang disini itu pada keganggu jiwanya, termasuk lo!” Celetuk Andre dengan wajah gemas.
“Hehe maaf suster cantik. Itu lo pasien yang diurus oleh suster Indah.” Sambung Andre dengan cengengesan.
Suster yang tadinya tersenyum geli melihat tingkah laku mereka, sekarang berubah menjadi datar ekspresinya.
Suster itu menoleh pada temannya dibelakang dan berbisik-bisik.
Ketiga orang itu bingung. Mereka tak tahu apa yang dibahas oleh suster-suster ini.
“Apa anda sudah dapat ijin dari suster Indah?” Tanya suster itu.
“Sudah.” Jefry berbohong. Tapi dia menjawabnya dengan tegas.
Awalnya suster tersebut curiga, tapi karena dia yakin akan ketegasan Jefry, akhirnya dia memberikan data pasien itu pada Jefry.
Setelah mengucapkan terimakasih, Jefry dan teman-temannya bergegas pergi.

Mereka memilih taman untuk membahas ini semua.
“Bacain, Ndre.” Suruh Jefry sambil menyerahkan berkas data tersebut.
Andre menerimanya dan membacanya.
“Nama Yonna Keila, lahir di Kanada tanggal 10 Desember 1981, berarti sekarang umurnya 32tahun dong, alamatnya kosong, data keluarga kosong, Cuma itu aja.” Kata Andre.
“Kanada? Bule dong?” Tanya Bianca.
“Mana gue tahu, emang gue bapaknya?” Jawab Andre dengan kesal.
“Disitu ditulis penyebab sakitnya apa?” Tanya Jefry.
Andre mencoba membalik lembaran demi lembaran.
“Nggak ada, Jef.”
Jefry tertunduk lesu.
“Data yang kita miliki kurang banget, Jef. Satu-satunya cara adalah dengan pendekatan ke pasien, Jef.” Kata Andre cuek.
“Whoaa, tumben lo pinter?” Kata Bianca dengan senyum yang lebar.
Andre nyengir melihat tingkah laku temannya yang masih seperti anak kecil itu.
Jefry yang sedari tadi masih tertunduk lemas, mencoba mengangkat wajahnya. Tak sengaja pandangannya menuju pada sebuah jendela. Jendela dimana pasien yang dia lihat tadi berada. Pasien yang bernama Yonna itu masih berdiri disana.
Jefry melihat dari jauh dan mengamati Yonna. Yonna tampak kotor dan beraut wajah sedih.
“Kita harus deketin dia.” Kata Jefry.
“Yaelah, itu kan yang tadi gue omongin.” Jawab Andre kesal.
Jefry masih melihat kearah Yonna berada. Dia merasa iba pada wanita itu. Wajah wanita itu seakan ingin mengatakan Tolong aku, Tolong aku!
Jefry terus mengamatinya.

---

Pagi
2 November 2013

“Permisi.”
Jefry membuka pintu ruangan Yonna pelan-pelan dan menemukan Yonna masih dalam posisi yang sama, yaitu meringkus.
“Permisi, Mbak Yonna.”
Wanita yang sedari tadi menunduk mulai mengangkat matanya pelan-pelan. Dia sedikit kaget ada yang memanggil namanya.
Jefry masuk kedalam ruangan dan duduk di dekat pintu masuk.
“Emm, Mbak Yonna, saya Jefry. Saya mau bantu Mbak Yonna disini selama dua bulan. Mbak Yonna bersedia?”
Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Yonna.
“Mbak Yonna, jangan diam di kamar aja. Mbak Yonna bisa keluar dari kamar seperti yang lain.” Jefry melanjutkan kata-katanya.
“Mbak mau saya temani keluar?” Jefry berusaha mendekati Yonna.
Tapi Yonna ketakutan. Dia memegangi badannya erat-erat. Terdengar nafasnya yang tersengal-sengal.
Jefry melihatnya dan memutuskan untuk tak terburu-buru.
“Mungkin nggak sekarang, saya berharap saya bisa berteman dengan Mbak Yonna.” Sambung Jefry dan Jefry meninggalkan ruangan itu.
Jefry keluar dari ruangan dan mendapati teman-temannya menunggu diluar.
“Gimana?” Tanya Bianca.
Jefry menghela nafas panjang.
“Nggak semudah yang kita bayangkan. Kita mesti sabar.” Jawab Jefry sambil menepuk kedua bahu temannya itu.
Mereka meninggalkan ruangan itu.
Dari jauh suster Indah mengamati perbuatan mereka. Suster Indah juga pergi meninggalkan tempatnya bersembunyi.

Didalam ruangan, Yonna sendirian.
Dia merebahkan tubuhnya ke lantai yang dingin tanpa alas apapun.
Dipegangnya sebuah lembaran kecil yang sudah kusam. Dilihatnya lembaran itu.
Dia menangis.


No comments:

Post a Comment