Previous : "RAHASIA" Bagian 1
BAGIAN 2
2 Bulan
yang Lalu
2
September 2013
“Ini
permintaan terakhir papa.”
Jefry
terdiam dan menoleh kearah ayahnya.
“Papa
ngomong apa sih?” Tanya Jefry dengan wajah geram.
“Anggap aja ini permintaan terakhir papa. Tolong kamu kabulkan, Jef.”
Jefry tertunduk
lesu disofa tempatnya duduk.
“Papa
cuma ingin keadilan ditegakkan.” Sambung ayah Jefry.
Sebenarnya
Jefry tak mengerti apa yg dimaksud dengan ayahnya.
“Aku
semakin nggak ngerti sama omongan papa. Papa pengen aku kerja di rumah sakit
papa tempat kerja, gitu? Pah, masa lalu biarin jadi masa lalu. Kenapa
mesti diungkit lagi sih?” Keluh Jefry.
“Pah,
Jefry ya Jefry. Papa ya papa. Papa nggak bisa maksa Jefry untuk jadi dr.Indra
Nugraha yang pintar dan disegani banyak orang.” Nada Jefry mulai meninggi.
“Kalau
papa bisa, kamu juga bisa. Suatu saat kamu akan menyadari itu.” Jawab ayahnya
sambil menepuk pundak anaknya dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Jefry
sendirian disana dan terduduk lesu.
---
2 Bulan
Kemudian
1
November 2013
Jefry
telah sampai disebuah rumah sakit tempat dia dan kedua temannya ditempatkan
untuk magang. Ketika dr.Herman, menunjukkan ruang demi ruang di rumah sakit
tersebut, ada seorang suster yang mencurigakan. Suster itu bernama Indah, dia
adalah kepala suster di rumah sakit jiwa tersebut.
Suster
Indah melarang ketiga anak itu melihat salah satu pasien yg berbahaya di rumah
sakit ini.
Jefry
dan teman-temannya tak percaya begitu saja. Lantas, Jefry memaksa suster Indah
pergi dan membuka pintu itu.
Nampak
seorang wanita duduk meringkus dengan keadaan yg mengkhawatirkan. Wanita itu
dipasung kaki kanannya.
“Siapa
dia?” Tanya Jefry dengan wajah tanda Tanya pada suster Indah.
Suster
Indah tak bisa menjawab. Dr.Herman hanya diam saja. Dr.Herman tersenyum.
“Apa itu
yang ada dikakinya?” Tanya Jefry lagi.
“Sejak
kapan rumah sakit mengijinkan adanya pasung?” Sambung Jefry.
Pertanyaan
Jefry tak satupun di jawab oleh Suster Indah.
“Anda
disini anak magang. Jangan macam-macam anda!” Bentak suster Indah dengan nada
terbata-bata.
Jefry
menoleh kepada dr.Herman yg sedari tadi hanya diam saja.
“Om,
maksudnya apa ini?” Tanya Jefry pada dr.Herman.
Sekali
lagi, dr.Herman hanya diam saja.
Keributan
itu sampai di lihat banyak pasien dan pengunjung rumah sakit disekitar situ.
“Tolong
anda jangan diam saja! Jawab saya!” Bentak Jefry.
“Ada apa
ini ribut-ribut?”
Tiba-tiba
seorang dokter menyela perkelahian mereka. Orang itu tinggi, berkacamata dan di
jas putihnya tersemat name tag “dr.Rudi Hartanto”
“Apa
anda semua tidak sadar bahwa ini rumah sakit?” Sambung dr.Rudi.
Jefry
yang sedari tadi menatap tajam wajah suster Indah, sekarang beralih menatap
kewajah dr.Rudi. Tatapan Jefry seperti bertanya siapa orang ini.
“Saya
kepala rumah sakit disini.” Dr.Rudi sudah bisa langsung mejawab pertanyaan
Jefry yang sama sekali tak keluar dari mulutnya.
“Oh,
bagus sekali. Saya mau bertanya pada anda. Sejak kapan di rumah sakit melayani
pemasungan?”
Dr.Rudi
terdiam. Dr.Rudi melihat kearah suster Indah dan wajahnya berubah menjadi
sinis.
“Maaf
anak muda, anda siapa?” Tanya dr.Rudi.
“Maaf
dok, ini anak magang dari Universitas yang bekerja sama dengan kita.” Sela
dr.Herman.
Dr.Rudi
sekarang melihat kearah dr.Herman yang tampak tenang.
“Tolong
hargai privasi rumah sakit kami. Jika anda memiliki tugas dari Universitas
anda, mohon laksanakan dengan baik, tapi jangan mengusik privasi kami.” Jawab
dr.Rudi tegas.
“Privasi?
Anda bilang ini privasi? Dok, meskipun dia beda dengan kita tapi dia juga
manusia.” Jefry berteriak dengan emosi. Andre berusaha menenangkan temannya itu
yg sedang emosi berat.
Teriakan
Jefry cukup keras membuat wanita yang ada didalam ruangan itu menoleh pelan
kearah keributan itu terjadi. Tak ada yang tahu bahwa wanita itu juga
mendengarkan perdebatan mereka.
“Anda
telah menyalahi aturan. Anda bilang anda seorang kepala rumah sakit, seharusnya
anda lebih mengerti daripada kami.” Tiba-tiba Andre juga ikut bersuara.
“Benar
dok, kami bisa saja melaporkan berita ini supaya dimuat di TV atau Koran.”
Sambung Bianca membela.
Dr.Rudi
merasa terdesak dengan argumen mereka bertiga. Dr.Rudi terdiam.
Jefry
melangkah lebih dekat kearah dr.Rudi
“Berikan
kuncinya!” Kata Jefry dengan nada yang sudah tak emosi lagi.
Dr.Rudi
terdiam.
Jefry
juga terdiam. Dia masih menunggu jawaban dari dr.Rudi.
“Suster
Indah.” Dr.Rudi akhirnya mengeluarkan suaranya dengan nada serak.
“Iya,
dokter.” Jawab suster Indah yang ada disebelahnya.
“Serahkan
kuncinya pada anak ini.” Kata dr.Rudi dengan tegas dan tegang.
“Tapi
dokter, ini…”
“Berikan
saja!.” Sela dr.Rudi.
Kemudian
setelah kunci itu diserahkan pada Jefry, dr.Rudi pergi meninggalkan mereka
disusul dengan suster Indah.
Jefry
yang menerima kunci itu langsung menghampiri wanita itu.
Wanita
itu tahu kalau sedang ada yang menghampirinya. Dia ketakutan dan sedikit
mengindar dari Jefry.
“Tenang.
Saya mau bukakan pasungnya.” Kata Jefry dengan nada pelan dan berjalan
pelan-pelan.
Jefry
sudah dekat dengan wanita itu. Dipegangnya kaki wanita itu yg sangat kotor dan
dibuka pasungan itu.
Setelah
merasakan kebebasan pada kakinya. Wanita itu menekuk kakinya dan menghadap
membelakangi Jefry.
“Ok,
sudah selesai. Saya akan pergi.”
Jefry
pergi dari sana pelan-pelan dan menutup pintu itu.
Wanita
itu masih membelakangi pintu. Sudah tak ada siapa-siapa disana. Dia masih
terdiam didalam kesunyian.
---
Wanita
itu mencoba untuk berdiri
Sudah
lama sekali dia tak berdiri. Dia berdiri sambil berpegangan pada tralis
jendelanya. Dia melihat keluar jendela. Wajah kotornya tertepa cahaya pagi itu.
Dia
memikirkan apa yang sudah dilakukan seorang tadi padanya. Dia berpikir masih
ada ternyata yang peduli padanya. Dia memejamkan matanya.
Dia
teringat pada seseorang yang melakukan hal sama seperti yg dilakukan pria tadi
padanya.
Sekilas
dalam bayangannya terlintas kejadian-kejadian yang dia kenang.
Apa ini? Kenapa ada pasung? Dia
tidak boleh dipasung! Nona, kau baik-baik saja? Saya akan melepaskan pasung
dikakimu. Nah sudah. Bagaimana rasanya? Enak kan? Jika ada yang memasungmu
lagi, panggil aku.
Suara
laki-laki itu terniang dipikirannya yang membuat air matanya tak kuasa
mengalir.
Laki-laki tadi mengingatkannya pada seseorang.
---
Jefry
menutup pintu ruangan wanita itu pelan-pelan. Dia melihat dr.Herman yang sedari
tadi hanya diam saja. Dia mencoba meminta maaf pada dr.Herman karena sudah
membuat keributan disini. Dr.Herman hanya tersenyum mendengarnya.
“Bagaimana?
Apa kalian sudah punya gambaran siapa pasien yang akan kalian amati?” Tanya
dr.Herman pada ketiga mahasiswa itu.
“Saya
penasaran dengan wanita ini dok, dan baru kali ini saya penasaran dengan
seorang pasien di rumah sakit jiwa.” Jawab Jefry sambil menyerahkan kunci
ruangan itu pada dr.Herman.
“Sebenarnya
saya takut dok, karena suster tadi bilang pasien ini mengerikan. Tapi saya sama
seperti Jefry, saya penasaran dengan dia. Mungkin saya akan memilih dia untuk
dibuat laporan.” Sambung Bianca dengan nada polos.
“Saya
mah ngikut, dok.” Jawab Andre sekenanya.
Dr.Herman
mengerti dengan pilihan mereka. Dr.Herman menyerahkan kunci itu lagi pada
Jefry.
“Kau
masih membutuhkan ini. Selamat menikmati masa magangmu.” Kata dr.Herman sambil
meninggalkan mereka bertiga dengan sebuah senyuman.
Jefry
dan kedua temannya saling berhadapan.
“Gue
bener-bener penasaran sama yang di dalam.” Kata Bianca.
“Kalian
semua, ikut gue.” Ajak Jefry.
Mereka
berdua pergi mengikuti Jefry yang sudah ada didepan mereka. Mereka meninggalkan
tempat itu.
Kepergian
mereka ternyata diawasi oleh seseorang. Dia dr.Rudi.
---
Dr.Herman
sudah tiba disebuh ruangan.
“Silahkan
duduk, dok.” Sambut dr.Rudi.
Dr.Herman
kemudian duduk di depan dr.Rudi yang saat ini ada di meja kerjanya.
“Saya
berharap kejadian tadi tidak terulang lagi.” Kata dr.Rudi.
“Saya
mohon maaf, dok.” Jawab dr.Rudi dengan nada lembut.
“Tolong
carikan data ketiga anak itu. Secepatnya!” Suruh dr.Rudi.
Dr.Herman
tertegun mendengarnya. Tapi pada akhirnya dr.Herman menganggukan kepala tanda
setuju. Kemudian dia mohon pamit untuk keluar dari ruangan.
Diluar
ruangan, dr.Herman menghela nafas panjang.
Indra, anakmu hebat. Semuanya
sudah dimulai. Aku tak menyangka akan secepat ini.
Dr.Herman
tersenyum dan pergi meninggalkan tempat itu.
---
Jefry
dan teman-temannya sudah berada di bagian resepsionis.
“Sus,
saya anak magang yang baru. Saya minta data pasien yang akan saya buat
laporan.” Kata Jefry.
“Maaf,
yang anda maksud pasien yang mana?” Tanya suster itu dengan senyum.
Jefry
bingung harus menjelaskan bagaimana.
“Yang
agak keganggu jiwanya, sus.” Jawab Bianca dengan wajah polos.
Andre
menepuk dahinya dan kemudian memukul bahu Bianca. Bianca memegang bahunya
dengan kesakitan.
“Semua
yang disini itu pada keganggu jiwanya, termasuk lo!” Celetuk Andre dengan wajah
gemas.
“Hehe
maaf suster cantik. Itu lo pasien yang diurus oleh suster Indah.” Sambung Andre
dengan cengengesan.
Suster
yang tadinya tersenyum geli melihat tingkah laku mereka, sekarang berubah
menjadi datar ekspresinya.
Suster
itu menoleh pada temannya dibelakang dan berbisik-bisik.
Ketiga
orang itu bingung. Mereka tak tahu apa yang dibahas oleh suster-suster ini.
“Apa
anda sudah dapat ijin dari suster Indah?” Tanya suster itu.
“Sudah.”
Jefry berbohong. Tapi dia menjawabnya dengan tegas.
Awalnya
suster tersebut curiga, tapi karena dia yakin akan ketegasan Jefry, akhirnya
dia memberikan data pasien itu pada Jefry.
Setelah
mengucapkan terimakasih, Jefry dan teman-temannya bergegas pergi.
Mereka
memilih taman untuk membahas ini semua.
“Bacain,
Ndre.” Suruh Jefry sambil menyerahkan berkas data tersebut.
Andre
menerimanya dan membacanya.
“Nama
Yonna Keila, lahir di Kanada tanggal 10 Desember 1981, berarti sekarang umurnya
32tahun dong, alamatnya kosong, data keluarga kosong, Cuma itu aja.” Kata
Andre.
“Kanada?
Bule dong?” Tanya Bianca.
“Mana
gue tahu, emang gue bapaknya?” Jawab Andre dengan kesal.
“Disitu
ditulis penyebab sakitnya apa?” Tanya Jefry.
Andre
mencoba membalik lembaran demi lembaran.
“Nggak
ada, Jef.”
Jefry
tertunduk lesu.
“Data
yang kita miliki kurang banget, Jef. Satu-satunya cara adalah dengan pendekatan
ke pasien, Jef.” Kata Andre cuek.
“Whoaa,
tumben lo pinter?” Kata Bianca dengan senyum yang lebar.
Andre
nyengir melihat tingkah laku temannya yang masih seperti anak kecil itu.
Jefry
yang sedari tadi masih tertunduk lemas, mencoba mengangkat wajahnya. Tak
sengaja pandangannya menuju pada sebuah jendela. Jendela dimana pasien yang dia
lihat tadi berada. Pasien yang bernama Yonna itu masih berdiri disana.
Jefry
melihat dari jauh dan mengamati Yonna. Yonna tampak kotor dan beraut wajah
sedih.
“Kita
harus deketin dia.” Kata Jefry.
“Yaelah,
itu kan yang tadi gue omongin.” Jawab Andre kesal.
Jefry
masih melihat kearah Yonna berada. Dia merasa iba pada wanita itu. Wajah wanita
itu seakan ingin mengatakan Tolong aku, Tolong aku!
Jefry
terus mengamatinya.
---
Pagi
2
November 2013
“Permisi.”
Jefry
membuka pintu ruangan Yonna pelan-pelan dan menemukan Yonna masih dalam posisi
yang sama, yaitu meringkus.
“Permisi,
Mbak Yonna.”
Wanita
yang sedari tadi menunduk mulai mengangkat matanya pelan-pelan. Dia sedikit
kaget ada yang memanggil namanya.
Jefry
masuk kedalam ruangan dan duduk di dekat pintu masuk.
“Emm,
Mbak Yonna, saya Jefry. Saya mau bantu Mbak Yonna disini selama dua bulan. Mbak
Yonna bersedia?”
Tak ada
jawaban yang keluar dari mulut Yonna.
“Mbak
Yonna, jangan diam di kamar aja. Mbak Yonna bisa keluar dari kamar seperti
yang lain.” Jefry melanjutkan kata-katanya.
“Mbak
mau saya temani keluar?” Jefry berusaha mendekati Yonna.
Tapi
Yonna ketakutan. Dia memegangi badannya erat-erat. Terdengar nafasnya yang
tersengal-sengal.
Jefry
melihatnya dan memutuskan untuk tak terburu-buru.
“Mungkin
nggak sekarang, saya berharap saya bisa berteman dengan Mbak Yonna.” Sambung
Jefry dan Jefry meninggalkan ruangan itu.
Jefry
keluar dari ruangan dan mendapati teman-temannya menunggu diluar.
“Gimana?”
Tanya Bianca.
Jefry
menghela nafas panjang.
“Nggak
semudah yang kita bayangkan. Kita mesti sabar.” Jawab Jefry sambil menepuk
kedua bahu temannya itu.
Mereka
meninggalkan ruangan itu.
Dari
jauh suster Indah mengamati perbuatan mereka. Suster Indah juga pergi
meninggalkan tempatnya bersembunyi.
Didalam
ruangan, Yonna sendirian.
Dia
merebahkan tubuhnya ke lantai yang dingin tanpa alas apapun.
Dipegangnya
sebuah lembaran kecil yang sudah kusam. Dilihatnya lembaran itu.
Dia menangis.
Next : "RAHASIA" Bagian 3
No comments:
Post a Comment